Hal tersebut, sambung Saldi, tidak sejalan dengan esensi Pasal 34 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yang pada pokoknya menegaskan kewajiban negara untuk mengambil tanggung jawab penuh atas kelompok rentan, bukan justru mewajibkan mereka menanggung beban tambahan dalam bentuk tabungan yang menimbulkan unsur paksaan.
Prinsip tanggung jawab negara tersebut dipertegas dalam kebijakan sektoral mengenai perumahan, yang secara eksplisit dituangkan dalam UU nomor 1 tahun 2011.
"Dengan merujuk pada dasar pertimbangan dibentuknya UU nomor 1 tahun 2011, pada prinsipnya menegaskan bahwa peran negara adalah menjamin hak setiap warga negara untuk menempati, menikmati, dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia bagi peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat," kata Saldi.
Alasan Ketiga adalah duplikasi dengan JHT dan beban ganda bagi pekerja.
Anggota Hakim Konstitusi yang lain, Enny Nurbaningsih, menyoroti soal diberlakukannya ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU 4/2016 yang mengharuskan pekerja menyisihkan penghasilannya untuk tujuan yang relatif sama dengan skema JHT, pada akhirnya menimbulkan duplikasi program dan tumpang tindih pengaturan.
"Akibatnya, pekerja dibebani iuran ganda, misalnya iuran JHT dihimpun dari pemotongan upah sebesar 2% ditanggung oleh pekerja dan 3,7% ditanggung oleh pemberi kerja [vide Pasal 16 PP 46/2015]," kata Enny.